Senin, 18 April 2011

Kerugian Pajak "Ekonomi Bawah Tanah" Ditaksir Rp 262 Triliun

 Kegiatan "ekonomi bawah tanah" berpptensi menimbulkan kerugian pajak sekitar Rp 262 triliun di Indonesia, hampir setara dengan apa yang terjadi di Thailand yang mencapai sekitar 70% dari PDB. Perhitungan ini didasari asumsi tarif pajak sebesar 15% atas nilai aktivitas "ekonomi bawah tanah" pada tahun lalu yang mencapai Rp 1.750 triliun.
"Ekonomi bawah tanah bisa disimpulkan sebagai kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran pajak. Kegiatan ekonomi seperti itu umumnya berlangsung di semua negara, termasuk Indonesia," kata Anggota Komisi VII DPR-RI Isma Yatun kepada wartawan, di Jakarta.

Menurut dia, persentase kegiatan "ekonomi bawah tanah" di negara maju mencapai 14-16% dari PDB. Sedangkan di negara berkembang mencapai 35-44% dari PDB. Kegiatan ekonomi tersebut tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga masuk dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion). Apalagi, letak geografis wilayah Indonesia memang rawan penyelundupan.

Hal pendukung lainnya adalah maraknya kegiatan illegal logging, illegal fishing, illegal mining, dan kegiatan ile-gal lainnya yang menyebabkan Indonesia termasuk negara keenam terkorup di dunia Din nif nilai besaran potensi kerugian pajak dari sektor-sektor ilegal itu sudah melebihi dari alokasi anggaran untuk subsidi tarif dasar listrik (TDL) yang hanya mencapai Rp 50 triliunan.

Oleh karena itu, dia mendesak agar Kementerian/Letnbaga (K/I.) yang bersentuhan dengan sektor-sektor yang rawan penggelapan pajak seperti sektor pertambangan, perkebunan, dan yang lainnya, harus ditertibkan. "Semua aturan main harus diikuti dan setiap Kuasa Pertambangan (KP) yang ada harus ditertibkan supaya mengikuti aturan main hukum yang berlaku," tegas Isma.

Dikonfirmasi terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Herman Heru Suprobo berharap agar pemerintah, DPR, dan para pelaku usaha, bisa menciptakan suasana iklim yang kondusif dengan membangun kebersamaan melalui citra yang baik di mata rakyat dan dunia internasional.
Herman mengakui, masih terdapat pengusaha sektor pertambangan atau sektor lain yang menggunakan lahan hutan, yang nakal, dan tidak menaati hukum. Namun, pemerintah dan DPR tidak bisa menggeneralisasi seluruh pengusaha di sektor itu sama nakalnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar